Senin, 30 Agustus 2010

Sex Polling Analisa "Alat Bantu seks"


Agar hubungan c menjadi lebih bervariasi, tidak sedikit pria yang memakai alat perangsang birahi seperti bulu-buluan, film, buku dan sebagainya. Bagaimana dengan Anda?Bila Anda termasuk pria yang rajin membaca koran, majalah, atau menonton televisi, Anda pasti sepakat bahwa publikasi tentang alat bantu seks kini semakin banyak disajikan. Ini disetujui oleh para pengakses kita dalam poling kali ini, sebanyak 93, 75 % yang menyatakan bahwa mereka mengenal alat bantu seks atau alat perangsang melalui media massa. Mereka ini datang dari kualifikasi pendidikan SMU, Diploma, S1 dan Pascasarjana, lajang atau menikah, dengan tingkat penghasilan di bawah Rp 2 juta, antara Rp 2 juta dan Rp 5 juta, atau di atas Rp 5 juta.

Dengan status sosial lajang dan menikah, berpenghasilan antara Rp 2 juta dan Rp 5 juta, berpendidikan S1 dan Pascasarjana, sebanyak 75 % mengaku secara terus terang bahwa mereka adalah jenis pria yang sulit terangsang hingga memerlukan alat Bantu seks. Sementara 25,00 % dengan kualifikasi pendidikan SMU dan penghasilan di bawah Rp 2 juta dan masih lajang mengaku bukan pria yang sulit terangsang. Hingga melalui jawaban ini, bisa diasumsikan, bahwa penggunaan alat bantu seks bagi sebagian pengakses agaknya dimaksudkan juga untuk menambah variasi pengalaman seksual.

Mereka inilah, masih sebanyak 25, 00 % mengatakan bahwa penggunaan alat bantu seks tersebut berdampak biasa saja, bahkan sebanyak 18, 75 % dari pengakses berkualifikasi SMU, lajang, dengan penghasilan di bawah Rp 2 juta ini mengatakan tidak mengalami peningkatan gairah seks. Hal ini mendukung asumsi di atas, etntang adanya sebagian pengakses yang menggunakan alat bantu seks sebagai variasi pengalaman sesksual semata.

Secara lebih jauh hal ini bisa ditelusuri menjadi bermacam-macam tujuan, namun baur bagi semua pengakses. Sebanyak 40,00 % pengakses dengan kualifikasi pendidikan SMU, Diploma, S1, Pascasarjana mengatakan bahwa alat bantu seks mereka gunakan untuk memuaskan pasangan. Dengan detail lebih jauh, sebanyak 26,67 % dari mereka agaknya ikut memberikan jawaban pada tujuan menciptakan harmonisasi hubungan seks yang dilakukan bersama pasangan. Meskipun dengan jumlah sama, 26, 67 %, namun dengan kualifikasi pendidikan S1, lajang, berpenghasilan antara Rp 2 juta dan Rp 5 juta memaksudkan alat bantu seks tersebut hanya untuk memuaskan diri sendiri. Di sini memang poling tidak mempersoalkan apakah alat bantu seks ini diterima secara terbuka oleh pasangan atau ditolak.

Namun menarik juga menelusuri kemudian, alat bantu seks seperti apa saja yang digemari para pengakses. Di sini, meskipun sama-sama mengetahui keberadaan alat bantu seks dari media massa, namun tingkat penghasilan, status sosial, dan juga pendidikan ternyata mempengaruhi para pengakses dalam memilih alat bantu yang digunakan. Daya jangkau pembelian dan pengetahuan ikut mempengaruhi seseorang dalam mengkonsumsi alat bantu seks tersebut.

Mereka yang masih lajang, berpendidikan SMU, Diploma, dengan penghasilan di bawah Rp 2 juta dan di antara Rp 2 juta dan Rp 5 juta, sebanyak 46, 67 % mengaku lebih memilih film sebagai alat bantu seks atau alat perangsangnya. Bila dikaitkan dengan perkembangan sosial saat ini sebagai latar belakang, maka hadirnya film-film porno bajakan agaknya ikut andil dalam hal ini. Kita sama mengetahui bahwa film-film (VCD/DVD) porno bajakan saat ini begitu mudah didapatkan dan harganya demikian murah. Seorang menteri bahkan pernah menyindir, bahwa hanya ratusan langkah dari istana presiden pun ada VCD/DVD porno bajakan. Siapa saja, segala umur, dengan uang Rp 5 ribu dapat membelinya.

Berbeda misalnya dengan para pengakses berpendidikan S1, Pascarsarjana, dengan penghasilan antara Rp 2 juta dan Rp 5 juta, dan juga di atas Rp 5 juta, dan sudah menikah, ternyata sebanyak 46, 67 % memilih menggunakan obat-obatan, dan sejumlah 6, 67 % menggunakan buku-buku. Artinya, material alat bantu seks bagi kalangan ini tidak begitu mudah didapatkan, dan memerlukan pula dukungan pengetahuan berlebih tentang obat-obatan ataupun buku-buku yang diperlukan, namun tidak dijual bebas pula sebagaimana VCD/DVD porno.

Mereka ini lebih jauh bisa dikenali lagi ketika menghadapi pertanyaan kapan mereka memakai alat bantu seks atau alat perangsang tersebut. Sebanyak 53, 33 % dari mereka mengatakan menggunakannya hanya dalam kondisi tertentu. Artinya, alat bantu seks bukanlah semacam kebutuhan yang kemudian menjadi ketergantungan. Mereka ini lebih banyak dibandingkan pengakses berpendidikan SMU, Diploma, lajang, berpenghasilan di bawah Rp 2 juta dan antara Rp 2 juta dan Rp 5 juta yang mengakui sudah menggunakan alat bantu seks setiap kali berhubungan seks.

Bagi para pengakses jenis ini, alat bantu seks yang semula hanya digunakan sebagai variasi untuk mendapatkan pengalaman seks yang lebih luas, ternyata menjadi ketergantungan, yang boleh jadi akan menimbulkan efek kelumpuhan bila dilepaskan. 86, 67 % dari mereka ini secara terus terang mengakui sudah mengalami ketergantungan pada alat bantu seks yang digunakannya. Dan bila sudah demikian yang terjadi, alat bantu seks yang secara material adalah “benda” tersebut, kini bisa saja telah berubah menjadi “organ” seks yang tak bisa lagi diabaikan. Jadi, sebaiknya penggunaan alat bantu seks memang hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja. Seperti ketika tubuh kelelahan namun sang pasangan demikian bergairah, atau ketika angan-angan seksual sudah memuncak namun tubuh masih saja “ogah”. Alat bantu seks akan menghidupkan! Begitukah?